Pagi itu pagi yang indah menurut gw. Sekitar jam 5:50 pagi
dengan manisnya gw duduk di bangku dekat jendela barisan ke empat shuttle bus
Lippo Cikarang (Iyah rumah gw jauh di ujung dunia). Tempat duduk favorit gw. Nggak
terlalu belakang supaya pas turun nggak ribet. Nggak terlalu depan supaya nggak
keganggu sama penumpang lain yang naik turun. Dekat dengan jendela supaya bisa
kaya video klip metal (baca: mellow total), merenung dengan tatapan nanar
menatap kosong diiringi dengan air hujan yang mengalir cantik di permukaan
jendela (referensi video klip tahun 80-an). Begitulah kira-kira biasanya gw
mengisi pagi hari selagi menunggu bis jalan. Otak melantur kemana-mana
sementara mata menatap random nggak tentu arah. Intinya, I’m doing nothing. Thinking
of nothing. Just enjoying the peace of morning silence, sebelum akhirnya gw akan
menguras setiap neuron otak gw dengan kesibukan dan keruwetan pekerjaan. Anggap
saja meditasi kecil di pagi hari.
Gw nggak inget dengan jelas apa yang sedang gw pikirkan,
tapi yang pasti keindahan kesunyian pagi gw terganggu dengan keberadaan seorang
ibu berbadan cukup montok, berkacamata, dengan muka agak mengkerut. Bukan penampilan
fisiknya yang menganggu tapi celotehannya yang merusak pagi indah hari itu.
“Aduh koq udah penuh yah bisnya…”
“Aduh kenapa sih tempat duduknya
nggak bisa dimundurin…”
“Ini AC nya nyala nggak sih koq
panas banget…”
“Sempit banget sih tempat
duduknya…”
“Ini jam berapa sih berangkatnya,
lama banget…”
“Aduh banyak nyamuk yah bisnya…”
“Aduh….bla bla blab la….”
Kebayang kan
sekarang guys, betapa terganggunya keindahan sepinya pagi hari gw? Celotehan
ibu ceriwis ini nggak berhenti sekalipun bis sudah mulai jalan. Sepanjang perjalanan
Lippo Cikarang sampai Komdak (buat yang tinggal di Jabodetabek pasti tahu
seberapa jauhnya ini) si Ibu nggak berhenti mengomentari segala hal. Semua kebagian
rentetan komentar-komentar negatif yang dengan lincahnya keluar dari bibirnya. Mulai
dari kemacetan di tol. AC yang agak panas. Supir yang menekan pedal gas terlalu
keras. Mobil lain yang memotong jalan. Mobil sebelah yang jalannya pelan. Jalanan
yang nggak rata. Semua dikomentarin oleh si Ibu ini. Mulai dari yang salah
sampe yang nggak tau apa-apa semua diomelin.
Di otak gw
mulai berpikir berbagai cara untuk mengembalikan ketenangan pagi gw, mulai dari
cara yang legal sampai yang sangat illegal (seringai iblis). Benak gw mulai
menyusun beberapa skenario upaya menyelamatkan ketenangan pagi. Bagaimana kalau
ibunya dibius saja. “Ibu lihat sapi terbang!!!” Begitu ibunya menoleh, gw tutupin
hidung dan mulut dia pake kaos kaki buluk yang belum dicuci 3 bulan. Ibu nya
kemudian mengelepar menghirup aroma jahanam dan terkapar lemas tak berdaya. Dan
tenanglah pagiku. Skenario ini nggak valid soalnya kaos kaki gw baru dicuci
setelah 4 bulan kelupaan dicuci, plus ada kemungkinan gw udah keburu tewas pas
megang kaos kaki beracun itu kalau memang ada.
Cara lain
yang tepikir sama otak gw yang udah karatan ini adalah dengan perlahan-lahan
mengendap-ngendap ke belakang si Ibu kemudian menggetok kepalanya pake pemukul
bisbol. Tapi skenario ini gagal karena gw cek tas gw ternyata nggak ada pemukul
baseball. Adanya cuma linggis sama samurai (ini kerja ato mau tawuran yah?). Atau
bisa juga kita giring ibunya ke pintu bis pake butiran nasi. Pas si Ibu udah
matokin nasi sampe pintu bis, tiba-tiba kita buka pintunya trus kita jorokin
ibunya, tinggalin di pinggir jalan tol. Tapi cara inipun gagal soalnya sepertinya
si Ibu bakal menolak nasinya kecuali dihidangkan lengkap dengan semur jengkol
dan pepes oncom.
Di bis hari
itu, gw belajar ternyata ngeluh itu gengges banget bo (baca: ganggu versi
salon). Mengeluh itu menghabiskan energi nggak cuma sang pengeluh, tapi juga
orang lain yang ngedengernya. Ngeluh itu kaya kentut yang ditembakkan oleh
orang tak bertanggung jawab di dalam ruang terutup berukuran 2x2 diisi oleh 7
orang. Ngedengerin orang mengeluh itu kaya perokok pasif. Nggak tau apa-apa
tapi kena getahnya. Fatal banget kan guys?!
Buat gw
pribadi, banyak ngeluh cuma nunjukin kalo kita nggak punya kekuatan untuk
mengubah. Nggak punya kekuatan atas hidup kita. Memposisikan diri kita sebagai
objek penderita daripada subjek berkuasa. Apa gunanya ngeluh tanpa bertindak? Cuma
ngabisin energy. Ngoceh nggak jelas tapi nggak ada perubahan. Perubahan terjadi
dalam dunia tindakan bukan dalam dunia pikiran dan perkataan. So guys mendingan
energinya dipake untuk bertindak daripada ngedumel.
Daripada nyerocos
bisnya udah keburu agak penuh, mendingan si Ibu datang lebih pagi biar bisa
milih spot paling PW buat menatap nanar ke jendela J
Daripada
ngedumel tempat duduknya nggak bisa dimundurin, mendingan si Ibu pindah tempat
duduk.
Daripada
ngomel AC nya panas, mendingan si Ibu mingkem dan ngipas.
Daripada
cemberut gara-gara tempat duduknya sempit, mendingan si Ibu ikutan aerobik. Kali
aja membantu nggak cuma bikin agak langsing tapi juga jadinya muat dengan
nyaman di bangku bis.
Banyak
ngeluh tanpa melakukan apapun juga cuma nunjukin kalo mata kita rabun. Iyah rabun,
soalnya kita nggak ngeliat dunia dengan benar. Kalo dunia adalah lukisan, kita cuma
ngeliat warna hitamnya doank. Kita membutakan mata kita unutk melihat warna-warna
lainnya. Padahal lukisan yang indah pasti akan membutuhkan warna hitam; sedikit
ataupun banyak. Kalau nggak ada malam nggak mungkin ada pagi. Kalau nggak nggak
gelap nggak mungkin ada terang. Kalau nggak ada air mata kita nggak akan pernah
tau artinya senyum. Kalau nggak ada masalah kita nggak tau artinya bebas dari
masalah. World is not perfect guys. Kesempurnaan hanya milik Tuhan (referensi:
Dorce show) so artinya semuanya baru sempurna di Sorga. Semuanya baru sempurna
setelah kita RIP dan masuk Sorga. Selama kita di dunia segala sesuatu tidak
akan pernah sempura. Akan selalu ada cacartnya. Akan selalu ada salahnya. Akan selalu
ada nggak benernya. Tapi inilah dunia yang sekarang kita tempatin. Masih mau
hidup di dunia? Deal with its imperfection.
Mengeluh
juga cuma menunjukkan bahwa kita adalah mahluk nggak tau diri. Kita kurang bersyukur
atas hidup kita. Padahal banyak orang yang bersedia menukarkan semua yang dia
punya dengan hidup kita. Punya bos yang rese? Banyak TKW di Malaysia yang pengen
menukar atasannya. Tukar tambah malahan. Kerjaan kita berat banget? Banyak
pengangguran di Indonesia yang bersedia menukar hidupnya supaya punya pekerjaan
dan beebrapa lembar uang di dompetnya. Keluarga elo nggak sempurna? Banyak anak-anak
di panti asuhan yang bersedia menukar apapun untuk sekedar punya Ayah dan Ibu.
Mungkin kita terlalu sering melihat ke atas daripada melihat ke bawah. Mungkin
dengan sedikit menunduk dan melihat sekeliling, kita akan menemukan banyak hal yang
bisa disyukuri. Kita bisa melihat kalau hidup kita masih indah.
Bukan
masalah mengeluhnya, karena mengeluh itu manusiawi. Manusia secara kodrati
memang tidak pernah puas. Manusia selalu ingin lebih baik. Ingin lebih cepat. Ingin
lebih mudah. Tapi pertanyaan pentingnya adalah seberapa banyak dan sering kita
mengeluh dibandingkan dengan bertindak untuk mengubah keadaan? Dan kapan
terakhir kali kita benar-benar bersyukur atas keberadaan hidup kita, apapun
kondisinya?
Pagi itu
setelah agak jengah dan mengambil kesimpulan bahwa nggak ada gunanya
mendengarkan celotehan si Ibu, gw merogoh kantung depan tas, mengambil ear
phone, menyumpalkannya erat ke kuping dan memejamkan mata. Terlalu sayang pagi
indah gw dicemari oleh keluhan. Sudahkah kita bersyukur hari ini? Have a Thankful day Guys!
No comments:
Post a Comment