Saturday, November 17, 2012

Celotehan Ibu Gengges... (Baca: Ganggu-kosa kata salon)




Pagi itu pagi yang indah menurut gw. Sekitar jam 5:50 pagi dengan manisnya gw duduk di bangku dekat jendela barisan ke empat shuttle bus Lippo Cikarang (Iyah rumah gw jauh di ujung dunia). Tempat duduk favorit gw. Nggak terlalu belakang supaya pas turun nggak ribet. Nggak terlalu depan supaya nggak keganggu sama penumpang lain yang naik turun. Dekat dengan jendela supaya bisa kaya video klip metal (baca: mellow total), merenung dengan tatapan nanar menatap kosong diiringi dengan air hujan yang mengalir cantik di permukaan jendela (referensi video klip tahun 80-an). Begitulah kira-kira biasanya gw mengisi pagi hari selagi menunggu bis jalan. Otak melantur kemana-mana sementara mata menatap random nggak tentu arah. Intinya, I’m doing nothing. Thinking of nothing. Just enjoying the peace of morning silence, sebelum akhirnya gw akan menguras setiap neuron otak gw dengan kesibukan dan keruwetan pekerjaan. Anggap saja meditasi kecil di pagi hari.  


Gw nggak inget dengan jelas apa yang sedang gw pikirkan, tapi yang pasti keindahan kesunyian pagi gw terganggu dengan keberadaan seorang ibu berbadan cukup montok, berkacamata, dengan muka agak mengkerut. Bukan penampilan fisiknya yang menganggu tapi celotehannya yang merusak pagi indah hari itu.

“Aduh koq udah penuh yah bisnya…”
“Aduh kenapa sih tempat duduknya nggak bisa dimundurin…”
“Ini AC nya nyala nggak sih koq panas banget…”
“Sempit banget sih tempat duduknya…”
“Ini jam berapa sih berangkatnya, lama banget…”
“Aduh banyak nyamuk yah bisnya…”
“Aduh….bla bla blab la….”
  
Kebayang kan sekarang guys, betapa terganggunya keindahan sepinya pagi hari gw? Celotehan ibu ceriwis ini nggak berhenti sekalipun bis sudah mulai jalan. Sepanjang perjalanan Lippo Cikarang sampai Komdak (buat yang tinggal di Jabodetabek pasti tahu seberapa jauhnya ini) si Ibu nggak berhenti mengomentari segala hal. Semua kebagian rentetan komentar-komentar negatif yang dengan lincahnya keluar dari bibirnya. Mulai dari kemacetan di tol. AC yang agak panas. Supir yang menekan pedal gas terlalu keras. Mobil lain yang memotong jalan. Mobil sebelah yang jalannya pelan. Jalanan yang nggak rata. Semua dikomentarin oleh si Ibu ini. Mulai dari yang salah sampe yang nggak tau apa-apa semua diomelin.


Di otak gw mulai berpikir berbagai cara untuk mengembalikan ketenangan pagi gw, mulai dari cara yang legal sampai yang sangat illegal (seringai iblis). Benak gw mulai menyusun beberapa skenario upaya menyelamatkan ketenangan pagi. Bagaimana kalau ibunya dibius saja. “Ibu lihat sapi terbang!!!” Begitu ibunya menoleh, gw tutupin hidung dan mulut dia pake kaos kaki buluk yang belum dicuci 3 bulan. Ibu nya kemudian mengelepar menghirup aroma jahanam dan terkapar lemas tak berdaya. Dan tenanglah pagiku. Skenario ini nggak valid soalnya kaos kaki gw baru dicuci setelah 4 bulan kelupaan dicuci, plus ada kemungkinan gw udah keburu tewas pas megang kaos kaki beracun itu kalau memang ada.

Cara lain yang tepikir sama otak gw yang udah karatan ini adalah dengan perlahan-lahan mengendap-ngendap ke belakang si Ibu kemudian menggetok kepalanya pake pemukul bisbol. Tapi skenario ini gagal karena gw cek tas gw ternyata nggak ada pemukul baseball. Adanya cuma linggis sama samurai (ini kerja ato mau tawuran yah?). Atau bisa juga kita giring ibunya ke pintu bis pake butiran nasi. Pas si Ibu udah matokin nasi sampe pintu bis, tiba-tiba kita buka pintunya trus kita jorokin ibunya, tinggalin di pinggir jalan tol. Tapi cara inipun gagal soalnya sepertinya si Ibu bakal menolak nasinya kecuali dihidangkan lengkap dengan semur jengkol dan pepes oncom.

Di bis hari itu, gw belajar ternyata ngeluh itu gengges banget bo (baca: ganggu versi salon). Mengeluh itu menghabiskan energi nggak cuma sang pengeluh, tapi juga orang lain yang ngedengernya. Ngeluh itu kaya kentut yang ditembakkan oleh orang tak bertanggung jawab di dalam ruang terutup berukuran 2x2 diisi oleh 7 orang. Ngedengerin orang mengeluh itu kaya perokok pasif. Nggak tau apa-apa tapi kena getahnya. Fatal banget kan guys?!

Buat gw pribadi, banyak ngeluh cuma nunjukin kalo kita nggak punya kekuatan untuk mengubah. Nggak punya kekuatan atas hidup kita. Memposisikan diri kita sebagai objek penderita daripada subjek berkuasa. Apa gunanya ngeluh tanpa bertindak? Cuma ngabisin energy. Ngoceh nggak jelas tapi nggak ada perubahan. Perubahan terjadi dalam dunia tindakan bukan dalam dunia pikiran dan perkataan. So guys mendingan energinya dipake untuk bertindak daripada ngedumel.

Daripada nyerocos bisnya udah keburu agak penuh, mendingan si Ibu datang lebih pagi biar bisa milih spot paling PW buat menatap nanar ke jendela J
Daripada ngedumel tempat duduknya nggak bisa dimundurin, mendingan si Ibu pindah tempat duduk.
Daripada ngomel AC nya panas, mendingan si Ibu mingkem dan ngipas.
Daripada cemberut gara-gara tempat duduknya sempit, mendingan si Ibu ikutan aerobik. Kali aja membantu nggak cuma bikin agak langsing tapi juga jadinya muat dengan nyaman di bangku bis.



Banyak ngeluh tanpa melakukan apapun juga cuma nunjukin kalo mata kita rabun. Iyah rabun, soalnya kita nggak ngeliat dunia dengan benar. Kalo dunia adalah lukisan, kita cuma ngeliat warna hitamnya doank. Kita membutakan mata kita unutk melihat warna-warna lainnya. Padahal lukisan yang indah pasti akan membutuhkan warna hitam; sedikit ataupun banyak. Kalau nggak ada malam nggak mungkin ada pagi. Kalau nggak nggak gelap nggak mungkin ada terang. Kalau nggak ada air mata kita nggak akan pernah tau artinya senyum. Kalau nggak ada masalah kita nggak tau artinya bebas dari masalah. World is not perfect guys. Kesempurnaan hanya milik Tuhan (referensi: Dorce show) so artinya semuanya baru sempurna di Sorga. Semuanya baru sempurna setelah kita RIP dan masuk Sorga. Selama kita di dunia segala sesuatu tidak akan pernah sempura. Akan selalu ada cacartnya. Akan selalu ada salahnya. Akan selalu ada nggak benernya. Tapi inilah dunia yang sekarang kita tempatin. Masih mau hidup di dunia? Deal with its imperfection.


Mengeluh juga cuma menunjukkan bahwa kita adalah mahluk nggak tau diri. Kita kurang bersyukur atas hidup kita. Padahal banyak orang yang bersedia menukarkan semua yang dia punya dengan hidup kita. Punya bos yang rese? Banyak TKW di Malaysia yang pengen menukar atasannya. Tukar tambah malahan. Kerjaan kita berat banget? Banyak pengangguran di Indonesia yang bersedia menukar hidupnya supaya punya pekerjaan dan beebrapa lembar uang di dompetnya. Keluarga elo nggak sempurna? Banyak anak-anak di panti asuhan yang bersedia menukar apapun untuk sekedar punya Ayah dan Ibu. Mungkin kita terlalu sering melihat ke atas daripada melihat ke bawah. Mungkin dengan sedikit menunduk dan melihat sekeliling, kita akan menemukan banyak hal yang bisa disyukuri. Kita bisa melihat kalau hidup kita masih indah.

Bukan masalah mengeluhnya, karena mengeluh itu manusiawi. Manusia secara kodrati memang tidak pernah puas. Manusia selalu ingin lebih baik. Ingin lebih cepat. Ingin lebih mudah. Tapi pertanyaan pentingnya adalah seberapa banyak dan sering kita mengeluh dibandingkan dengan bertindak untuk mengubah keadaan? Dan kapan terakhir kali kita benar-benar bersyukur atas keberadaan hidup kita, apapun kondisinya?

Pagi itu setelah agak jengah dan mengambil kesimpulan bahwa nggak ada gunanya mendengarkan celotehan si Ibu, gw merogoh kantung depan tas, mengambil ear phone, menyumpalkannya erat ke kuping dan memejamkan mata. Terlalu sayang pagi indah gw dicemari oleh keluhan. Sudahkah kita bersyukur hari ini? Have a Thankful day Guys!

 


    

No comments:

Post a Comment