Friday, September 28, 2012

Walking Through The Dessert


"Aslan, why wouldn't you show yourself? Why couldn't you come roaring in and save us like last time" (The Chronicles of Narnia - Prince Caspian)

Guys, udah nonton seri The Chronicles of Narnia yang terbaru, "The Voyage of the Dawn Treader"? Gw belom. Malahan gw baru kemarin nonton dengan lengkap seri kedua-nya " Prince Caspian" di salah satu stasiun TV (sedih yah hidup gw? Biarin ;b). Sebenarnya sih ade' gw udah pernah beli DVD bajakan nya (jangan ditiru) nggak berapa lama setelah seri ini keluar. Tapi berhubung DVD bajakan plus masih baru, alhasil nontonnya butuh perjuangan keras. Perjuangan keras memicingkan mata karena gambarnya gelap banget sehingga gw mulai mengira mengalami katarak dini (terutama bagian awal film), suara kresek-kresek, plus text yang nggak sinkron. Setelah beberapa menit mencoba berjuang dan terasa tidak menyenangkan, gw memutuskan untuk menyudahi penderitaan gw dan menonton DVD bajakan lainnya (teteup bajakan, sekali lagi jangan ditiru! ;b). Thanks to RCTI akhirnya gw bisa nonton film ini dengan lebih nyaman :).  And as some of you know, I consider movies seriously. Nonton film bagi gw bukan cuma sekedar refreshing, tapi juga refleksi (tanpa pijat) dan pembelajaran hidup. Nah kali ini,gw mau share apa yang gw dapat dari The Chronicles of Narnia - Prince Caspian.

The Chronicles of Narnia, buat gw pribadi, bukanlah film biasa. Film ini diangkat dari sebuah novel karangan C.S Lewis, seorang penulis, akademisi, pemikir Kristen yang dikenal dalam Apologetika Kekristenan. Perlu gw garis bawahi disini, the Chronicles of Narnia bukanlah film Kristen. Nilai yang diangkat dari kisah ini adalah nilai-nilai baik yang berlaku secara umum, seperti kesetiaan, pengharapan, baik melawan jahat, kejujuran. But if you are Christians you can't help not to see a lot of Christian symbols and metaphors in the story. Buat gw, the Chronicles of Narnia-Prince Caspian lebih dari sekedar sebuah film keluarga, tapi sebuah media refleksi dan pembelajaran tentang Tuhan dan hidup manusia. Pembelajaran tentang padang gurun dalam hidup kita. Pembelajaran tentang padang gurun dalam hidup gw.
Padang gurun?! Yups, padang gurun. Bayangkan padang gurun dan gw cukup yakin sangat jarang orang mengasosiasikan padang gurun debagai tempat yang nyaman, asik buat leha-leha, buat ngeceng, dan hal menyenangkan lainnya. Yang kepikiran di otak kita mungkin onta, panas, gerah, gersang, pasir, haus, dehidrasi, gersang dan hal-hal lain yang mencerminkan ketidaknyamanan. Padang gurun tidak masuk dalam top 10 tempat favorit dalam hidup kita.

Setiap kita pada satu tahap dalam hidup akan melewati padang gurun. Yups, too bad we will have to experience it. Ada yang menyebutnya sebagai kemiskinan. Ada yang menganggapnya kesepian. Ada yang mengatakannya sebagai rasa sakit. Ada yang mengenalnya sebagai penghianatan, dan banyak sebutan lainnya. Mereka punya satu kesamaan: ketidakberdayaan di bawah permasalahan. Padang gurun mengepung kita dengan rasa takut dan khawatir. Padang gurun menguras tenaga kita dengan kebingungan. Padang gurun melindas kita dengan tidak adanya jalan keluar.

Saat berada di padang gurun banyak pertanyaan berkelebat di kepala kita.

Mengapa ini bisa terjadi?

Mengapa Tuhan membiarkan ini terjadi?

Dimana Tuhan yang katanya kasih dan peduli?

Sama seperti Lucy yang bertanya kepada Aslan, demikian kita mempertanyakan Tuhan. Bedanya Lucy sekalipun dia tidak mengerti, dia tetap punya keyakinan dalam hatinya kalau Aslan peduli, dan Lucy tetap setia mencari dan menantikan Aslan. Sebagian besar kita (termasuk gw) seringkali tidak sekuat Lucy. Kita tidak mengerti, merasa Tuhan tidak peduli, dan kita berpaling dari Allah.  Berpaling dari Allah tidak selalu berarti  kita murtad, jadi atheis, jadi bandar narkoba, mabok-mabokan, dll. Pada tingkatan yang ekstrem mungkin akan seperti itu, tapi dalam tingkatan yang lebih ringan, yang lebih sering kita lakukan adalah mulai mengandalkan kekuatan kita sendiri. Kita mulai berpikir “I have to do this by my own.” Kita  membiarkan rasa takut mengambil alih keyakinan akan otoritas Allah. Kita mengizinkan kebingungan menguasai kedamaian hati kita. Kita membiarkan ketidakberdayaan kita bertahta dalam hidup kita menggantikan Allah.

“Ingatlah kepada seluruh perjalanan yang kaulakukan atas kehendak TUHAN, Allahmu, di padang gurun selama empat puluh tahun ini dengan maksud merendahkan hatimu dan mencobai engkau untuk mengetahui apa yang ada dalam hatimu, yakni, apakah engkau berpegang pada perintah-Nya atau tidak. Jadi Ia merendahkan hatimu, membiarkan engkau lapar dan memberi engkau makan manna, yang tidak kaukenal dan yang juga tidak dikenal oleh nenek moyangmu, untuk membuat engkau mengerti, bahwa manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi manusia hidup dari segala yang diucapkan TUHAN” (Ulangan 8:2-3).

Segala sesuatu yang kita alami dalam hidup kita bukan terjadi karena kebetulan ataupun kecelakaan. Selalu ada alasan di balik kisah hidup kita. Padang gurun terjadi dengan suatu maksud, dengan suatu tujuan. Padang gurun dalam hidup kita tidak selalu terjadi karena dosa yang kita perbuat. Padang gurun yang kita alami bisa saja terjadi karena Tuhan menghendakinya untuk sebuah maksud khusus. Padang gurun yang terbentang bisa Tuhan ijinkan terjadi karena Dia ingin mengajar kita. Sama seperti bangsa Israel yang harus mengandalkan Tuhan untuk hidup di padang gurun, Tuhan menggunakan padang gurun dalam hidup kita untuk mengajarkan kerendahan hati dan bergantung sepenuhnya kepada kebaikan Nya. Mengajar kita untuk menempatkan Dia sebagai yang terutama dalam hidup kita. Bukan kekuatan kita, bukan kepintaran kita, bukan kebaikan kita, tapi hanya oleh anugerah kemurahan Tuhan.

Ada beberapa padang gurun yang sedang gw lalui saat ini. Dan gw belajar setiap harinya untuk bergantung pada kemurahan hati Bapa. Bukan artinya kita berhenti berusaha, tapi kita menyerahkan hasil dari segala upaya yang memungkinkan untuk kita lakukan kepadaNya. Tunduk pada otoritas dan waktunya Tuhan. Dan ini sama sekali tidak mudah, karena Iblis tidak akan tinggal diam. Iblis akan melakukan segala cara untuk mencegah dan menghambat kita keluar dari padang gurun. Salah satu senjata andalannya adalah: Intimidasi. Buat kalian yang saat ini sedang “On-fire”, mungkin intimidasi tidaklah menakutkan, terkesan kurang berbahaya sebagai senjata pamungkas Iblis. Tetapi buat orang-orang yang sedang terdampar kehausan di padang gurun, ceritanya akan sangat berbeda. Berbicaralah sejenak dengan orang-orang yang pernah mencoba bunuh diri. Berbincanglah dengan orang-orang yang perlu dirawat karena depresi. Luangkan waktu bersama dengan orang-orang yang tenggelam hanyut dalam permasalahan mereka, dan kita akan menemukan betapa mengerikannya kekuatan intimidasi. Seperti kecupan mematikan poison eve, demikianlah racun intimidasi masuk melalui pernyataan menghancurkan yang terkesan logis. Jangan dengarkan intimidasi, dengarkan suara Tuhan. Dengan pandangan Tuhan atas hidup kita, atas diri kita.

Iblis: “Kamu tidak pantas menjadi anak Tuhan, lihat dosa yang sudah kamu perbuat!”
Tuhan: “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa,” (Roma 5:8).

Iblis: “Firman Tuhan berkata: Tuhan maha Kudus. Kamu tidak kudus. Jangan coba-coba mendekatiNya atau kamu akan dicampakkanNya!”
Tuhan: “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan” (1 Yohanes 1:9).

Iblis: “Kamu sudah terlalu sering melakukan kesalahan yang sama, bagaimana mungkin Tuhan masih dapat mengampunimu?”
Tuhan: “Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba.” (Yesaya 1:18).

Iblis: “Kalau Tuhan mengasihimu, Dia tidak akan membiarkan hal ini terjadi dengan hidupmu!”
Tuhan: “Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: "Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta? Jawab Yesus: Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.” (Yohanes 9:2-3).

Iblis: “Dasar bodoh….Dasar jelek….kamu tidak berharga!”
Tuhan: “Didapati-Nya dia di suatu negeri, di padang gurun, di tengah-tengah ketandusan dan auman padang belantara. Dikelilingi-Nya dia dan diawasi-Nya, dijaga-Nya sebagai biji mata-Nya.”(Ulangan 32:10)

Guys, masa padang gurun tidak pernah mudah. Been there, done that, am walking through it. Banyak tantangan. Banyak intimidasi Iblis. Banyak persimpangan iman yang akan kita jumpai. Persimpangan  yang dapat mengoyahkan iman kita. Persimpangan yang membutuhkan keputusan untuk setia mencari dan menantikan Tuhan atau berbalik dari Tuhan. The choice is in your hands, but if I may suggest: Tetaplah setia. Jangan goyah. Banyak hal yang tidak kita mengerti, tapi tetaplah beriman ada maksud Tuhan di dalamnya. Kita tidak ditinggalkan sendirian. Kita tidak dilupakan.

No comments:

Post a Comment